Dalam analisis transfer pricing, pemilihan pembanding (comparables) merupakan elemen yang sangat krusial. Transfer pricing menitikberatkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle), yaitu memastikan bahwa harga atau laba dalam transaksi afiliasi sebanding dengan yang berlaku dalam transaksi antara pihak independen. Oleh karena itu, validitas hasil analisis sangat tergantung pada kualitas pembanding yang digunakan.
Kesebandingan: Jantung Transfer Pricing
OECD Transfer Pricing Guidelines (TPG) dalam paragraf 1.6 menegaskan bahwa comparability analysis adalah inti dari penerapan arm’s length principle. Pembanding yang tepat harus mencerminkan kondisi ekonomi, fungsi, dan risiko yang sebanding dengan pihak yang diuji (tested party). Pemilihan pembanding yang tidak tepat, termasuk penggunaan perusahaan yang mengalami kerugian (loss making companies), kerap menjadi sumber sengketa antara Wajib Pajak dan otoritas pajak, baik di Indonesia maupun secara global.
Isu Penggunaan Perusahaan Rugi sebagai Pembanding
Salah satu isu yang sering muncul adalah apakah perusahaan yang mengalami kerugian dapat diterima sebagai pembanding yang valid dalam analisis kewajaran laba. Dalam praktiknya, otoritas pajak cenderung menolak perusahaan rugi sebagai pembanding, karena dianggap tidak mencerminkan kondisi bisnis normal. Pandangan ini semakin kuat pada saat kondisi ekonomi lesu atau dalam masa krisis, ketika banyak perusahaan yang mencatat kerugian.
Namun, pendekatan semacam itu belum tentu mencerminkan realitas bisnis yang kompleks. Dalam banyak kasus, perusahaan independen dapat saja mengalami kerugian karena berbagai alasan strategis atau kondisi pasar yang menantang, seperti:
- Strategi penetrasi pasar dengan harga rendah,
- Kompetisi yang sangat ketat,
- Kenaikan biaya input yang belum bisa diimbangi harga jual,
- Investasi besar dalam riset, pengembangan, atau pemasaran.
Dengan kata lain, kerugian tidak serta-merta menunjukkan ketidakwajaran atau kondisi bisnis abnormal. Perusahaan independen tidak selalu menghentikan operasi hanya karena merugi dalam satu atau dua tahun.
Pendekatan OECD dan UN atas Loss Making Comparables
OECD TPG 2017, khususnya paragraf 3.64, menyatakan bahwa perusahaan yang merugi tidak boleh langsung dikesampingkan sebagai pembanding hanya karena mereka mengalami kerugian. Sebaliknya, perlu dilakukan analisis lebih lanjut atas fakta dan kondisi yang mendasari kerugian tersebut. Pandangan serupa juga diadopsi dalam United Nations Transfer Pricing Manual.
Secara prinsip, kesebandingan tidak semata-mata ditentukan oleh hasil laba atau rugi, tetapi oleh kelima faktor kesebandingan, yaitu:
- Karakteristik produk atau jasa,
- Fungsi yang dilakukan,
- Ketentuan dalam kontrak,
- Kondisi ekonomi,
- Strategi bisnis.
Artinya, perusahaan yang merugi dapat tetap menjadi pembanding yang sah jika lima faktor tersebut menunjukkan kesebandingan yang tinggi.
Kapan Perusahaan Rugi Dapat Ditolak?
Meskipun kerugian bukan alasan otomatis untuk menolak suatu pembanding, OECD TPG paragraf 3.65 mengidentifikasi dua kondisi di mana perusahaan yang merugi patut dikesampingkan:
- Kerugian Mencerminkan Kondisi Bisnis Abnormal
Misalnya, perusahaan berada dalam fase decline menuju kebangkrutan. Dalam situasi ini, perilaku ekonominya berbeda dari perusahaan yang masih going concern. - Kerugian Menunjukkan Tingkat Risiko yang Tidak Sebanding
Misalnya, jika tested party adalah distributor berisiko rendah (low-risk distributor), maka pembanding yang merugi secara terus-menerus mungkin mencerminkan profil risiko yang jauh lebih tinggi dan dengan demikian tidak sebanding.
Hal serupa juga berlaku untuk perusahaan dengan laba sangat tinggi (superprofit). Jika perusahaan seperti ini digunakan sebagai pembanding, maka harus ada justifikasi bahwa kondisi laba luar biasa tersebut tidak disebabkan oleh perbedaan risiko atau keunggulan kompetitif yang signifikan. Sayangnya, dalam praktik, otoritas pajak lebih cenderung menerima superprofit companies daripada loss making companies, meskipun keduanya sama-sama memerlukan kajian mendalam.
Durasi Kerugian: Berapa Tahun yang Diperbolehkan?
Salah satu aspek teknis yang sering menjadi pertimbangan adalah berapa lama kerugian dapat ditoleransi untuk suatu perusahaan tetap dianggap sebagai pembanding. Dalam praktik umum, kerugian selama satu tahun dalam analisis multi-tahun masih dianggap wajar. Namun jika perusahaan merugi lebih dari satu tahun berturut-turut, maka statusnya sebagai pembanding perlu ditinjau lebih cermat.
Studi kasus dari beberapa yurisdiksi memperlihatkan perbedaan pendekatan:
- Di India, pengadilan pajak menunjukkan fleksibilitas. Dalam beberapa kasus, perusahaan yang rugi selama tiga tahun masih diterima sebagai pembanding, asalkan terdapat penjelasan yang memadai.
- Di Australia, otoritas pajak cenderung lebih ketat. Perusahaan yang mengalami kerugian lebih dari satu tahun berturut-turut umumnya ditolak sebagai pembanding (Heath and Balkus, 2018).
Penutup: Perlunya Analisis Mendalam dan Objektif
Penggunaan perusahaan yang merugi sebagai pembanding tidak dapat disamaratakan. Diperlukan pendekatan berbasis fakta, bersandar pada kelima faktor kesebandingan dan konteks industri secara keseluruhan. Penolakan otomatis terhadap perusahaan rugi berpotensi menghasilkan rentang kewajaran yang tidak realistis, dan justru dapat merugikan pihak yang diuji.
Dalam dunia bisnis nyata, rugi dan untung adalah bagian dari siklus usaha. Oleh karena itu, pengujian transfer pricing harus mencerminkan realitas tersebut secara adil dan proporsional.

Leave a Reply